LEGENDA BUJANG SEMBILAN (SEBUAH TRAGEDI KISAH KASIH di ASAL MUASAL DANAU MANINJAU) Bagian 1
PROLOG
Alkisah, menurut cerita
orang-orang tua dahulu, yang juga diperkuat
oleh pendapat ilmiah para ahli vulkanologi, konon dahulunya Danau Maninjau berasal
dari gunung berapi. Orang menamakannya Gunung Tinjau, sebagai Tungku Tigo Sajarangan di samping Gunung
Singgalang dan Merapi. Entah beberapa ribu tahun yang lalu gunung tersebut
meletus. Begitu hebat letusannya, sehingga tubuh gunung tersebut melayang ke
langit biru kemudian terhempas kembali ke bumi, membentuk jajaran bukit di luhak
Agam. Bukit-bukit yang melingkari Danau Maninjau sebagai batas dengan daerah-daerah
sekitarnya, adalah kaki-kaki dari Gunung Tinjau yang tersisa sampai sekarang.
Lambat laun, kawah yang terjadi diisi oleh air yang mengalir dari hutan
sekelilingnya, kemudian terjadilah sebuah danau. Itulah Danau Maninjau,
sebagaimana yang bisa kita temui di 36km sebelah barat Bukittinggi.
Menurut kepercayaan anak
Tanjung Raya, yang diterima dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun ke
kemenakan sampai sekarang, Danau Maninjau dihuni oleh Bujang Sembilan, yaitu
sembilan ikan raya piaraan orang bunian. Satu waktu, ada masanya belerang di
dasar danau naik ke permukaan meracuni air, sehingga ikan-ikan menjadi mabuk,
itulah yang dikatakan “tubo”. Pada saat
air tidak bersahabat dengan kehidupan di dalamnya, Bujang sembilan berenang
beriringan hilir mudik. Panjangnya adalah lima depa, berpunggung biru dadanya
merah, sungut sepasang beradai-radai, cahayanya benderang dalam air. Barang
siapa yang berani mengganggu menyakiti, alamat dia mati mendadak atau raib
digunggung orang halus.
Berasal dari kepercayaan
itulah, lahirnya sebuah cerita legenda yang paling menyedihkan. Cerita ini pernah
ditampilkan di TVRI pada tahun 1985 silam, dan juga pernah dituturkan dalam
kaset oleh sanggar Balerong Grup Jakarta, pimpinan Yus Datuak Parpatiah yang
juga asli orang Maninjau, tepatnya Sungai Batang. Sekarang cerita ini saya
tampilkan kembali dalam bentuk tulisan, yang sejatinya juga saya sadur dari
kaset dengan penambahan dan pengurangan seperlunya demi keindahan bahasa, guna
mengingatkan kembali generasi muda sebagai pewaris kebudayaan Minangkabau. Kemudian
itu, cerita ini sengaja saya tuliskan dalam bahasa Indonesia, agar suku-suku
lain selain Minangkabau juga ikut menikmati cerita ini dan ikut larut dalam
sajian kebudayaan dan sastra Minangkabau.
Walaupun cerita antah
berantah ini banyak diwarnai daya imajinasi pembuat cerita, kiranya janganlah
dianggap cerita ini membangkitkan kembali jaman jahiliah, jaman dewa-dewa dan
peri-peri. Bukan, bukan itu yang menjadi niat. Tapi menggambarkan kehidupan
masyarakat Minang jaman dulu. Sebab sejarah telah bertutur, jauh sebelum Islam
dan kebudayaan luar menyeberang ke Sumatera Barat, Orang Minangkabau sudah
berbudaya tinggi dengan pola adatnya yang tersusun rapi. kemudian daripada itu,
ibaratnya satu lemparan batu jatuhlah dua balam, agaknya dalam cerita ini dapat
jugalah diambil apa yang patut untuk dijadikan pelajaran bagi kita semua. Insya
Allah.
Sebagai penutup kata,
sekiranya ada yang salah dalam penuturan cerita ini, kepada ninik mamak saya
minta maaf, kepada Allah SWT saya mohon ampun.
Banda urang kami bandakan, Banda di ranah Anam Koto. Kaba
urang kami kabakan, Jikok salah kami tak sato.
BAGIAN 1
Suasana subuh di lereng
Gunung Tinjau belum jauh meninggalkan pagi. Langit masih menyisakan rembulan,
tetes-tetes embun menggantung di ujung-ujung dedaunan. Ayam sudah sibuk mengais
tanah mencari makanan diiringi sambut menyambut koor suara burung di atas pohon
kelapa di dekat sebuah rumah gadang. Rumah itu berpagar bunga puding hijau
merah mengelilingi rumah beratap gonjong lima itu. Banyak tumbuhan bunga
menghiasi pekarangan. Seorang laki-laki sedang duduk di langkan, sibuk dengan sebuah parang. Sedang asiknya Palimo Bayua memperbaiki parang itu, keluarlah seorang gadis dari dalam rumah.
“Da..Uda.” adalah Puti Rasani
sang adik memanggil.
“Apo?” Palimo Bayua menoleh,
sejenak mengalihkan perhatiannya dari parang yang lepas gagangnya, hendak
diberi ambalau untuk merekatkan.
“Ambo ingin keluar
sebentar.”
“Hendak pergi kemana?”Palimo
Bayua kembali menoleh ke arah parang yang gagangnya lepas itu.
“Hendak pergi ke rumah Mak Datuk,
Da. Tapi Uda bilang kemaren Mak Datuk sedang sakit. Biarlah agak pagi ambo ke
sana, biar bertemu dengan etek sekalian.”
“Oh, Iya. Uda lupa. Pergilah.
Apa buah tangan yang kau bawa itu?” Palimo Bayua menatap bawaan yang dipegang
Sani.
“Pisang raja, juga ada pinyaram. Kemudian ada jeruk manis.
Sebagai pemancing selera beliau.” Sani menunjukkan isi bungkusan.
“Ambo pergi dulu, Da.”
“Iya, ee tapi tolong bilang
ke beliau, Uda belum sempat melihat beliau sekarang. Nanti malam kami
bersama-sama akan pergi ke sana.” Kata Palimo Bayua.
“Iyo, Da.”
Belum satu anak jenjang kaki
melangkah turun, Sani sudah dihardik Malintang. Kakaknya yang lain, sudah
berdiri di dekat pintu
“Hei, Sani. Mau pergi kemana
kau!?”Malintang bertanya.
Sani tertegun sejenak dan
berbalik lagi ke langkan. “Hendak pergi ke rumah Mak Datuk, Da.”
“Apa juga urusan kau
bolak-balik pergi ke sana?” suaranya tak kalah tinggi dari sebelumnya.
“Beliau kan sudah dua hari
ini sakit, Da.” Sergah Sani.
“Kau dukunnya?”
“Uda kok bicara seperti
itu?”
“Jadi bagaimana harusnya?
Dilepaskan saja seluruh kehendak hati kau?”Malintang masih mendelik. Sekarang
tangannya sudah berkacak di pinggang.
Sani menundukkan kepala,
“Ambo ‘kan bukan hendak pergi bermain, Da. Apa salah kita pergi menjenguk mamak
yang sedang sakit?”
“hmm. Pergilah. Tapi jangan
lama-lama.” Walau sedikit melembut, Malintang masih berdiri dengan berkacak
pinggang.
“Indak, Da..”
“Kau kalau sudah pergi
berjalan sudah sama saja dengan kain hanyut. Singgah kesana kemari. Apa lagi
yang kau tunggu? Pergilah. Berdiri mematung juga kau di sana” seru Malintang,
lantas beranjak mengambil segelas kopi yang disiapkan si Sani tadi pagi untuk
sembilan kakaknya.
“Iyo, Da. Ambo pergi dulu.”
Sani melangkah turun
jenjang, tak berapa lama punggungnya sudah tampak jauh menyusuri jalanan
kampung.
“Malintang, lain kali jangan
begitu berbicara dengan adik kau, apalagi adik perempuan. Dikeraskan terus,
menjauh dia. Rugi kita ” Palimo Bayua menatap Malintang.
“Jadi salah ambo, Da?”
“Salah. Kita mesti berbicara
dengan lemah lembut, Malintang.”
“Biar leluasa dia atas kita?”
Malintang masih belum bisa menerima.
Udara pagi terasa sejuk. Matahari
mulai mengintip sedikit demi sedikit di ufuk timur. Cahaya menguning mulai
menyebar di lereng Gunung Tinjau. Menyinari sawah dan kebun yang ada di sana.
“Waang agaknya lupa dengan petuah
orang tua. Binatang tahan palu, manusia
tahan kieh. si Sani itu bukan anak kecil lagi.”
“Karena dia sudah besar
itulah dia jangan dimanja-manjakan lagi.”jawab Malintang.
“Bukan memanja-manjakan. Handee,
Salah paham, waang, Malintang.”
“Kita tidak sependapat
tentang itu, Uda. Menurut ambo, tak keras kita ke si Sani, tak akan perkataan
kita didengar orang lain.”
“Lantas berbicara
menghardik-hardik si Sani? Begitu?”
“Iya.”
“Maksudnya?”
“Supaya dia takut.”
Palimo Bayua terkekeh pelan.
“Bukan takut yang ditanamkan ke adikmu itu, tapi segan. Manusia diikat dengan
tali budi, Malintang.”
“Uda, kita sepuluh
bersaudara. Sembilan laki-laki. Cuma satu si Sani mata jerat yang akan
diharapkan untuk menyambung suku keturunan nanti. Di masa depan nanti dia itu litak ka bakeh mintak nasi, hauih ka tampek
mintak aia. Dia yang akan mewarisi pusaka tinggi rumah gadang nanti. Maka
dari itu, dari kini kita tempa dengan betul-betul calon bundo kanduang itu.”
“Benar, tapi harus kamu
ingat pula, Malintang. Waktu Ayah dan Ibu meninggal dulu, si Sani masih kecil.
Dia belum pernah merasakan kasih sayang orang tua. Maka kitalah yang memberikan
kasih sayang itu. Jadi, kalau tidak dididik dengan sikap lembut, sama saja
dengan benih di persemaian, tak akan mau dia tumbuh besar.”
“Kita seiring, Da. Hanya
bertukar jalan. Kita punya satu maksud, hanya saja berlainan cara. Mungkin Uda
punya cara begitu. Tapi ambo juga punya cara sendiri. Kalau yang lain juga punya
cara berbeda, silakan saja. Sudahlah, Da. Ambo duluan pergi ke ladang.”
Malintang melangkah turun dan mengambil peralatan berkebun di bawah rumah. Palimo
Bayua hanya bisa menggeleng melihat kelakuan adiknya yang satu ini. Ambalau
sudah panas dan meleleh di dalam lubang gagang parang. Tinggal memasukkan
pangkal parang ke dalamnya dan menunggu dingin.Diapun bersiap pergi ke ladang.
****
“Oi, di rumaah!! Eteek! Oo
etek!” Sani menyapa di depan sebuah pelataran rumah panggung sederhana. walau
berpagar kayu ruting, namun tiga buah pohon jambu di kiri kanan rumah menaungi
halaman sehingga terasa sejuk walau matahari sudah agak tinggi menjelang siang.
Tampak seekor kucing hitam sedang berlari-lari mengejar sesuatu di antara
barisan bunga di depan rumah, entah apa yang sedang dikejarnya. Mungkin tikus kecil
yang berusaha masuk ke dalam rangkiang
yang ada di sisi kanan rumah itu.
“Iyaa, siapa di luar? Eh,
Sani. Naiklah, Nak. Sendiri saja kau ke sini?”, Rambun, isteri Datuk Limbatang,
yang menyambut Sani. Mempersilakan masuk.
“Iya, Tek. Nanti malam uda
Palimo dan yang lain ke sini bersama-sama.”
“Duduklah dulu.”
“Bagaimana keadaan Mamak
sekarang, Tek?”Sani duduk bersimpuh di atas tikar di tengah rumah.
“Sekarang sudah agak
mendingan. Tadi malam badannya panas sekali, batuk juga.”Jawab Rambun. Dia sekarang
ikut duduk di dekat Sani.
“Tidur beliau sekarang?”
“Iya. Baru saja. Sebentar
biar etek bangunkan.”Rambun hendak bangkit dari duduknya.
“Usah, Tek. Biarlah beliau
istirahat. Ada makan beliau, Tek?”Sani memegang tangan Rambun.
“Sedikit sekali beliau makan,
Sani.”Rambun menjawab prihatin sekaligus sedih.
“Obat apa yang dipakai, Tek?”
“Sudah dipakai seperangkat
obat tadi. Agaknya mamak kau ini tasapo waktu
membersihkan ladang yang ada beringin besar itu, Sani. Untung cepat dirintang
dengan darah ayam hitam di sana.”
“Semoga Mamak cepat sembuh
ya, Tek. Ini ada sedikit ambo bawa untuk mamak.”Sani menggeser bungkusan yang
tadi dibawanya ke arah Mandeh Rambun.
“Apa ini, Sani. Kau setiap
kesini selalu saja membawa bungkusan. Duduklah sebentar. Etek ke dapur sebentar.
Nasi sudah terjerang agaknya.”
“Duduk sajalah, Tek. Biar
ambo yang ke dapur.”
“Indak, indak. Biar etek
sajalah.” Rambun tersenyum mencegah Sani dan bergerak kembali ke dapur.
***
“Ehem, pantas saja kemaren
si Hitam membasuh muka menghadap pintu. Rama-rama putih pun melayang naik ke
rumah. rupa-rupanya ada tamu dari jauh. Tapi kalau boleh ambo bertanya, apa
sebabnya orang kaya terpaksa ke rumah kami?” Terdengar suara seorang pemuda
meyapa Sani dari arah pintu. Pemuda itu masuk. Giran namanya, anak dari Datuk
Limbatang dan Mandeh Rambun. Wajahnya elok dipandang mata, walaupun tajam, tapi
selalu menyejukkan melihat mata bersihnya yang dipayungi alis tebal. Hidungnya
tak terlalu mancung, tapi tak bisa pula dikatakan pesek. Badannya tak bisa
dikatakan gemuk, bukan pula dikatakan kerempeng. Tegap berisi. Dia tersenyum ke
arah Sani.
“Bukan terpaksa, memang
sengaja dari rumah hendak ke sini.”Sani membalas senyum Giran.
“Sengaja untuk melihat Angku
Datuk Limbatang atau melihat anaknya?”Sambil duduk bersila. Adalah sejarak satu
depa dari tempat Sani duduk.
“Keduanya.”Sani tersipu,
wajah cantiknya merona sambil mengulum senyum.
Senyum Giran merekah,
berusaha menutupi wajahnya yang juga merah bersemu, “Terima kasihlah kalau
begitu. Eh, ada pisang raja. Boleh ambo ambil satu?”Tangannya hendak mengambil
salah satu pisang raja yang sudah diletakkan di atas piring.
“eh eh, jangan. Itu untuk
orang sakit.”Sani mencegah.
“Ambo juga dalam kesakitan.”Giran
mengeluh sambil memegang dadanya.
“Kalau sakit ya berobat.”
“Sudah. Ini obatnya sudah
ada duduk di dekat ambo.”Giran menggoda.
“Ah, Uda Giran bisa saja.”Sani
tertunduk malu, wajah cantiknya makin mempesona. Pipinya merona merah. Bibir
tipisnya mengulum senyum.
“Heh, pisang raja, sungguh
cantik bentuk kau, pisang. Kulit kuning isinya penuh. Buah ranum baunya harum.
Sungguh rasanya ingin ku kunyah beserta kulit-kulitnya.”
“Pikir pikir dahulu, Da.
Mungkin isinya pahit.”
“Usahkan Pahit. Andai saja
pisang ini jadi batu, ambo kunyah sampai jadi pasir. Tapi ada yang ambo cemaskan,
Sani.”
Giran memulai pantunnya,
“Bukit bunian deret
tujuh
Lalu ku lipat deret
lima
Bukan tanaman yang enggan
tumbuh
Takut bumi tak akan
menerima”
Sani masih tertunduk, membalas pantun Giran,
“Berlayar kapal orang
Tiku
Berat muatan sarat
papan
Bawa berpikir jauh
dulu
Agar tak menyesal
kemudian”
Giran beranjak berdiri ke dekat jendela, memperhatikan
dua ekor burung balam yang bertengger di ranting salah satu batang jambu, asik
bercengkrama. Giran kembali membalas pantun Sani,
“Asal ada ladang tebu
Biarlah ilalang dalam
padi
Asal kehendak kan
berlaku
Kering lautan ambo
nanti”
Tangan Sani memainkan ujung selendang, wajah cantiknya
merona mengulum senyum di bibir tipisnya,
“Gunung Tinjau gunung
Merapi
Ketiga gunung Singgalang
Usah diharap corak kain
Dipakai rasa mau
diulang”
Giran masih menatap burung balam yang masih asik
bercengkrama itu, tersenyum, mendapat angin, kembali membalas pantun Sani,
“Siamang berbunyi
senja
Melompat sambil
berayun
Sedang kerakap ambo
menggila
Konon pula sirih luas
daun”
Sani melirik Giran yang sekarang juga menatap Sani. Mereka
terdiam sejenak, walau agak gugup, dipaksakan juga membalas pantun Giran. Alis
matanya yang bak semut beriring itu memayungi matanya yang membulat, makin
cantiklah wajah gadis itu,
“Ke bawah ke ujung
jalan
Harap sampai dengan
selamat
Guruh yang tak jadi
hujan
Langit malu, bumi
mengumpat”
“Ehem..”suara itu tiba-tiba mengejutkan mereka, Giran yang hendak membalas pantun Sani terdiam, pantunnya tercekat di kerongkongan, ditelan kembali. suasana
asmara yang sudah terjalin tadi seketika meruak menjadi canggung satu sama lain.
(bersambung)
bagian dua nya ada gak? posting dong di tunggu loh
ReplyDeleteApa ada bagiam 2 nya?
ReplyDeleteMohon maaf.. apa ada bagian ke 2 nya?
ReplyDelete