LEGENDA BUJANG SEMBILAN (SEBUAH TRAGEDI KISAH KASIH di ASAL MUASAL DANAU MANINJAU) Bagian 2
“Ehem..”suara itu tiba-tiba mengejutkan mereka, Giran yang
hendak membalas pantun Sani terdiam, pantunnya tercekat di kerongkongan,
ditelan kembali. suasana asmara yang sudah terjalin tadi seketika meruak
menjadi canggung satu sama lain.
“Mak Datuak”, Sani menyapa
mamaknya yang keluar dari kamarnya, sejenak kemudian dia kembali menunduk malu,
melihat Datuak Rimbatang yang tersenyum, mungkin berbalas pantunnya dengan
Giran tadi disimak oleh mamaknya. Giran sudah berlalu ke luar rumah.
“Bagaimana keadaan Mamak
sekarang?” Sani dengan segera menghilangkan kecanggungan yang dirasakannya.
Datuak Rimbatang duduk di
hadapan Sani, “sekarang sudah mendingan, Sani.” Katanya.
“Jauh benar berkurang
berat badan Mamak.” Ujar Sani prihatin.
“Mamak Cuma dapat demam biasa,
Sani. Demam penambah nafsu makan.” Datuak Rimbatang tersenyum.
“Bagaimana keadaan kalian
di sana?” Datuak Rimbatang bertanya.
“Ada sehat semuanya, Mak.”
Jawab Sani.
“hmm..Syukurlah kalau
begitu.”
“Ini ada dibawakan si Sani
untuk mamaknya, cobalah.” Rambun memberikan buah jeruk yang sudah dikupas
kepada Mak Datuak.
“Aduuh, Mamak memang sudah
rindu untuk makan jeruk manis. Hambar saja selama ini yang masuk ke mulut.”
“Ini ada pinyaram juga,
Mak” Sani senang melihat Mamak yang sudah dianggapnya sebagai Bapak kandungnya
itu memakan jeruk yang dibawanya dengan nikmat.
“Begini, Mak.” Ujar Sani
kemudian. “ Selain hendak menjenguk Mamak, Sani juga hendak mengabarkan, bahwa
besok kami akan menyabit padi di hilir ladang. Dan kemudian padi di lurah juga
sudah masak. Mungkin minggu ini juga sudah bisa dipanen.”
“Hmm.. Kalau begitu katakan pada kakak-kakak
engkau, kalau Mamak belum bisa menolong panen.”
“Tidak usah dulu, Mamak
sekarang kan masih lemah benar.” Jawab Sani.
“Biar nanti si Giran yang
akan menggantikan mamak.”
“Besok biar etek silau
juga kalian agak sebentar.” Ujar Rambun.sambil meletakkan air putih untuk
Datuak Rimbatang.
“Kalau tidak sempat, tidak
apa-apa, Etek.” Ujar Sani.
Rambun tersenyum. “Tapi
engkau tunggu dulu sebentar di sini, Sani. Etek ambil nasi sebentar, kita makan
sama-sama.” Ujar Rambun.
“Kalau makan tak usahlah,
Tek. Ambo masih kenyang.” ujar Sani sambil hendak berdiri.
“Tinggal mengambil nasi
saja, tidak akan lama.” Sergah Rambun.
“Indak, Tek. Ambo hendak
pulang dulu.” Ujar Sani sambil tersenyum.
“Engkau setiap datang ke
sini selalu saja terburu-buru.” Ujar Rambun.
“Pekerjaan banyak di
rumah, Tek. Hendak menumbuk padi, nanti juga akan membuat nasi lemak agak sedikit.”
“Kalau begitu biarlah dia
pulang dulu, Rambun.” Ujar Datuak Rimbatang.
“Bagaimana, Tek, Mak.
Bolehkah ambo pulang?” Tanya Sani.
“Yah, jadihlah. Hati-hati
di jalan Sani.” Rambun menghantarkan Sani hingga ke depan pintu.
“Engkau langsung pulang,
Sani. Jangan singgah dulu kemana-mana.” Ujar Datuak Rimbatang.
“iya, Mak.”
*****
Matahari telah meninggalkan
puncaknya, sesaat lagi dia akan kembali ke cangkang persembunyiannya di puncak
Gunung Tinjau, cahaya senja yang ditinggalkan terasa sangat indah, seiring
dengan aliran angin sepoi-sepoi membawa kesejukan. Datuak Rimbatang duduk di
pelataran rumahnya, pisang goreng dan air kopi yang disuguhkan Rambun masih
hangat di piring dan gelas di atas meja. Datuak Rimbatang memanggil Rambun dan
Giran.
“Begini, ada yang mau Ambo
sampaikan kepada kalian tentang perkara yang perlu dirundingkan sebagai pembulat
kata, pencari mufakat.”
“Urusan tentang apo,
Ayah?” Tanya Giran.
“Urusan diri Waang.” Jawab
Datuak Rimbatang.
“Kenapa, adakah hal sumbang yang dilakukan si Giran? Cemas ambo
mendengarnya.” Rambun tak mampu menyembunyikan kekhawatiran di wajahnya.
Mak datuak terkekeh,”
Bukan, kabar baik saja.”
“Maksud Ayah?” Giran
merasa heran.
“Begini, dengarkan kata
Ayah baik-baik.” Kata Datuak Rimbatang. Sejenak dia menghirup kopinya.
“Kalau dilihat
dipandang-pandang. Kalau ditilik umur terpakai serta wajah dan kurenah, maka
engkau sudah dewasa, Giran. Nampak-nampaknya, kini sudah patutlah kuda diberi
pelana, sudah patutlah kerbau diberi pasangan. Ayah bermaksud hendak mencarikan
isteri untuk engkau. Kami berdua sudah tua, Giran. Jikalau singkat umur kami,
hendaknya sebelum kami pergi, kami lihat jugalah engkau dijemput orang.”
“Betul, Giran. Mandeh juga
sudah ingin sekali punya menantu. Sudah rindu ingin menimang cucu. Sudah
terlalu lama rasanya rumah ini sunyi dengan suara anak kecil.” Rambun
menyetujui ucapan suaminya.
“Bagaimana, Giran.
Sudahkah engkau akan memberi kehendak kami?” tanya Datuak Rimbatang.
Giran menunduk sejenak, pun
sebenarnya dia juga telah hendak untuk memberikan apa yang diinginkan kedua
orang tuanya itu, namun masih ada keraguan di dalam diri pemuda itu. Giran masih menyusun kata-kata di dalam benaknya. Kembali dia
menatap ibu dan bapaknya. “Begini, Ayah. Apa yang Ayah sampaikan tadi benar
adanya. Tapi kalau ambo pikir benar-benar, terasa gamang diri ini hendak
berumah tangga. Ibarat melompati batang air, rasa hendak sampai, rasa tidak
sampai.”
Datuak Rimbatang tersenyum
mendengar jawab anak semata wayangnya. “Ayah paham. Tapi
ketahuilah, Giran. Orang takut tinggi tak akan dapat buah. Orang takut dingin
tidak akan dapat ikan.”
Giran terkekeh, “ Membeli
kuda memang murah, membeli rumputnya yang membuat rusuh.”
“Itu yang dikatakan
tanggung jawab, Nak. Ingat, engkau mandeh lahirkan jadi laki-laki. Berani jadi
laki-laki, berani jadi topangan.” Ujar Rambun.
Garin menunduk memikirkan kata-kata mandehnya, kemudian dia menatap ayahnya. “Ambo belum mengerti
dengan kata-kata Mandeh. Apa maknanya, Yah?”
Datuak Rimbatang tersenyum,
“ coba engkau simak baik-baik, Giran.
Layang-layang yang mudah dipermainkan angin adalah layang-layang tak berekor tak
ada kepalanya. Sambar kanan-kiri, benang
terentang disangkutnya, tali teraju kawan dikaitnya. Mengumpat orang kiri
kanan. Tapi kalau layang-layang diberi ekor panjang, diberi kepala danguang,
maka layang-layang tagak tali, seulah saja perangainya. Begitu juga dengan
manusia, Giran. Biasanya laki-laki yang hidup sendiri, banyak tingkahnya,
karena apa? Karena dia tidak punya beban. Tidak jadi topangan orang, paham
maksud ayah?”
“ooh, kesana tembakan
Mandeh melesat kiranya” mereka tertawa. “Kalau begitu ambo sudah paham.” Giran
kembali mendesah, “Tapi entahlah, belum sampai pikiran ambo ke sana, Ayah,
Mandeh.”
“Giran,”ujar Datuak Rimbatang. “Ayah mengerti perasaan Waang,
dan dulu Ayahpun seperti Waang sekarang, ragu-ragu. Tapi seperti kata para
cerdik pandai, tidak ada bengkalai yang bisa disudahkan dalam keraguan. Cobalah
Waang pandang Gunung Tinjau itu, puncaknya tinggi mencapai awan. Tapi dimana
bukitnya yang tak didaki orang? Lurahnya yang mana yang tak dituruni? Kapan lerengnya
yang tak ditempuh? Intinya, betulkan niat, bulatkan hati. Dari sana tujuan
dapat dicapai.”
Jangkrik semakin meriah dengan opera mereka, kunang-kunang
sudah tampak menyeruak dari semak-semak. Si kucing hitam tidur bergulung di atas
meja tempat Rambun mengambil lampu suluah dan menyalakannya. Kopi masih terasa
hangat kuku di gelas bambu disesap Datuak Rimbatang.
“Lihatlah contoh ke yang sudah, Giran. Lihatlah tuah ke yang
menang. Ayahmu ini.” Lanjut Datuak Rimbatang.
Giran menatap ayahnya, kemudian menyandarkan punggungnya ke
kursi, melihat jauh ke puncak Gunung Tinjau.
“Tidak sama, Ayah. Ayah rimbun dengan adat, kaya dengan
pusako. Sedangkan ambo? Mamak tidak, hartapun tak ada, pengalamanpun sangat
sedikit.” Giran menarik nafas dalam. “Ambo ini semisal kayu mati, Yah.” Lanjutnya.
“Alam terkembang jadi guru, Giran.” Jawab Datuak Rimbatang. “
Biasanya, di kayu mati itulah cendawan tumbuh. Sedangkan saja uratnya tak tertanam
ke bumi pun pucuknya tak menjulang ke langit. Waang tahu, apa yang menyebabkan
cendawan itu bisa tumbuh?... Hujan? Betul. Hujan turun dari langit, maka yang berkuasa
di langit itu lah yang berkuasa memberikan kehidupan di alam ini, tergantung
kepada usaha orang yang ada di bawah.”
Giran tersenyum mendengar penjelasan ayahnya. “Kalau memang
begitu, baiklah, Ayah. Ambo menurut saja bagaimana baiknya.” Lanjutnya.
Rambunpun tersenyum senang mendengar perkataan anak semata
wayangnya itu. “Nah, gitu dong.” Mereka tertawa mendengar perkataan Rambun
yang tak biasa itu.
Rambun melanjutkan perkataannya, “Kalau mandeh lihat, sekarang kilat sudah
berapi-api, guruhpun sudah berdentum. Maka hujan mesti diturunkan. Kalau hujan
tak jadi turun, tentu awan malu, parit meratap. Cendawanpun layu di tunggul
mati.” Giran dan ayahnya tersenyum mendengar perkataan Rambun.
Goreng pisang terasa nikmat bagi mereka di awal malam itu. Ditemani
kopi hangat yang sedikit demi sedikit sudah disesap. Langit tidak gelap karena
rembulan penuh telah menampakkan diri. Angin gunung terasa sejuk menjalari
pelataran rumah gadang itu.
“Hmm, baiklah.” Kata Datuak Rimbatang. “Sekarang, telah
senang rasa hati ini, telah sejuk dalam kira-kira. Sekarang begini, biar sekali
merangkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, sekali merogoh kantong dua tiga
hutang terbayarkan. Jadi lebih baik kita teruskan saja ke ujungnya. Bagaimana?”
“Benar.”Jawab Rambun.
“Apanya, Ayah?” Giran masih bingung dengan pernyataan
ayahnya.
“Kalau misalkan sesuai, waang ambillah, namun kalau tidak tak
apa engkau tinggalkan. Jadi Ayah bermaksud mengikat batang padi dengan daunnya.”
Ujar Datuak Rimbatang.
“Apa pula artinya, Yah?”
“ Waang pulang ka bako. Bagaimana jika si Sani akan kami
ambil untuk jadi menantu?” tanya Datuak Rimbatang dengan terkekeh.
Hati Giran serasa melambung. Dia merasa senang, namun juga
merasa gugup. Dijodohkan dengan Sani yang memang telah lama dia puja. Dia telah sejak lama diam-diam mencintai Sani. Tak hanya
wajah yang rupawan, namun juga perangai yang menawan. Lelaki mana yang tak hendak
menjadikan Sani seorang isteri? Mungkin mulutnya dapat menahan perasaannya,
tapi tidak dengan wajahnya yang memerah senang sekaligus malu. Ayah dan ibunya
menangkap hal itu.
“Bagaimana, Giran? Jawablah, kami tentunya mesti bertanya ke calon mempelainya dulu.” Tanya Datuak Rimbatang sembari membalas senyum isterinya.
“Alasan Ayah?” tanya Giran.
“Alasannya adalah supaya lunas hutang ke anak, lepas beban ke
kemenakan. Anak telah dipangku, kemenakan telah dibimbing, orang kampungpun
dipertenggangkan.” Jawab Datuak Limbatang.
Giran menarik nafas dalam mendengar jawab ayahnya itu. “Entahlah,
Ayah. Bagaimana menurut Mandeh?” Giran menoleh ke ibunya.
“Kalau ditanyakan ke ambo, ibaratnya menebang kayu condong
saja. Tapi apakah setuju orang lain dengan anak kita?” tanya Rambun ke Datuak
Rimbatang.
Datuak Rimbatang terkekeh, “Kenapa pula itu yang engkau
tanyakan? Kan sudah sama kita lihat, tembilang sudah tertancap, tanaman telah
tumbuh, di antara mereka berdua sudah ada rasa yang mesti diikatkan. Apa lagi?”
Giran tersentak. Ternyata benar ayah dan ibunya mendengar
saat dia berbalas pantun dengan Puti Rasani beberapa waktu yang lalu. Perasaan malunya kembali
meruak. Dia menutupinya dengan menyesap kopi lama-lama.
“Itu betul.” Jawab Rambun, “Namun putusan ada di sembilan
kakaknya. Bagaimana kalau tali disentak orang? Tentu akan lepas buhul di
ujungnya.”
“Ayah kan mamak bagi mereka, Mandeh” Sergah Giran.
Rambun menatap anak semata wayangnya itu,”Biasanya seorang
mamak tidak akan menghambat sampai ke muara, Giran. Tidak akan mendinding
sampai ke langit. Kata mufakat yang memutuskan.”
Datuak Limbatang memikirkan perkataan isterinya. “Betul itu.”
Ujarnya, “Tapi mudah-mudahan saja, karena baik pinta carano, maka sirih akan
lepas dari gagangnya, pinang akan gugur dari tampuknya. Baik-baik kita meminta,
mudah mudahan akan dengan senang hati mereka memberi.” Ujar Datuak Limbatang. Mereka
tersenyum mendengar ujaran itu.
“Bagaimana Giran? Kalau rasanya tidak sesuai dengan pilihan
kami, kita layangkan pandangan ke yang jauh.” Goda Rambun ke Giran.
“Kalau Mandeh yang mendesak, apa daya ambo? Ambo hanya ibarat
air, dimana parit yang tunggang di sanalah dia akan lalu. Mandeh tentu paham
akan itu. Bagaimana, Yah?” jawab Giran. Datuak Limbatang dan Rambunpun tertawa
mendengar persetujuan anak semata wayangnya itu.
(Bersambung)
*****
(bocoran Bagian 3, mudah-mudahan cepat selesainya yaa.. 😊)
“baiklah, Mak datuak.
Sesudah dilihat dipatut-patut, dipandang dikira-kira. Ditimbang ujung dengan
pangkal, dibagi rugi dengan laba. Dapatlah kata seragam bagi kami Bujang Sambilan,
yaitu belum berminat bagi kami mengambil si Giran ke rumah kami. Itulah
kesimpulan kata yang akan kami sampaikan kini.” Kata palimo Bayua.
“begitu. baiklah, kalau
itu sudah jadi keputusan, mamak menerimanya." Ujar Datuak Limbatang.
Comments
Post a Comment